BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR
BELAKANG
Jika melihat
Hakikat HAM yang sebenarnya, tentu akan sangatlah indah dibayangkan apabila HAM
yang terjadi di Indonesia benar-benar seperti itu. Akan tetapi REALITAS yang ada tidak seperti
itu, bahkan bertolak belakang. HAM yang
katanya sangat dilindungin dan dihormati di injak-injak begitu saja oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Pelanggaran HAM sering terjadi pada semua aspek kehidupan, sebut saja
salah satu contoh kekerasan terhadap perempuan.
Hal ini bukanlah satu hal yang asing dikalangan rakyat Indonesia.
Pelanggaran terhadap hak asasi kaum
perempuan masih sering terjadi, walaupun Perserikatan Bangsa-Bangsa telah
mendeklarasikan hak asasi manusia yang pada intinya menegaskan bahwa setiap
orang dilahirkan dengan mempunyai hak akan kebebasan dan martabat yang setara
tanpa membedakan; ras, warna kulit, keyakinan agama dan politik, bahasa, dan
jenis kelamin. Namun faktanya adalah bahwa
instrumen tentang hak asasi manusia belum mampu melindungi perempuan terhadap
pelanggaran hak asasinya
Dewasa ini, budaya
kekerasan menjadi nyata, kalau kita amati dalam lingkungan keluarga sering
ditemukan kasus kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri. Perlaku tersebul jarang diketahui oleh orang
lain, bentuk kekerasan tersebut seperti perkosaan dalam perkawinan (“marital rape”), memperbudakistri,
mengurung istri
di rumah tanpa
menberi kesempatan untuk bersosialisasi dengan masyarakat luar dan lebih ironis
“kematian”.[1]
Menurut Menteri
Negara Pemberdayaan perempuan Dr. Meutia Hatta Swasono, mengatakan bahwa
kekerasan terhadap perempuan masih terus berlangsung dalam bentuk yang
bervariasi bahkan menimbulkan dampak yang cukup kompleks. “Yang memerasakan kekerasan bukan hanya istri
atau perempuan yang terluka, tetapi juga anak-anak yang hidup dan menyaksikan
kekerasan dilingkungannya”. Ia juga menambahkan, anak dimungkinkan meniru
terhadap apa yang mereka lihat, sehingga menganggapnya bahkan menyesuaikan
perbedaan. Karena itu, kekerasan
terhadap perempuan baik yang bersifat publik maupun domestik harus secepatnya dicegah.[2]
Menurut data WHO
2006 ditemukan adanya seorang perempuan dilecehkan, diperkosa dan dipukuli
setiap hari di seluruh dunia. Paling tidak setengah dari penduduk dunia
berjenis kelamin perempuan telah mengalami kekerasan secara fisik. Studi
tentang kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan organisasi ini di 10 negara
(Bangladesh, Brazil, Ethiophia, Jepang, Namibia, Peru, Samoa, Serbia dan
Montenegro, Thailand dan Tanzania) menunjukan bahwa kekerasan dalam rumah
tangga yang dialami perempuan lebih sering dilakukan oleh orang-orang terdekat,
misalnya suami, pacar, kenalan dekat. Demikian pula halnya dalam kasus
pelecehan seksual dan pemerkoaan, orang-orang di sekitar perempuan (memangsa)
mereka. Sebanyak 24.000 perempuan diwawancarai dan didengarkan keluhan mereka,
20% diantara mereka mengatakan bahwa kekerasan yang mereka alami tidak pernah
di ceritakan kepada siapapun karena malu, tabu dan takut. Sebanyak 4% hingga
12% pernah mengalami penonjokan dan penendangan di perut perempuan.[3]
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, dapat dirumuskan masalah-masalah yang akan dibahas pada penulisan kali ini. Masalah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Apakah masalah-masalah pelanggaran HAM wanita di indonesia?
2. Apakah Tugas dsn Tujuan komnas HAM Perempuan?
3.
Intrumen apakah yang mengatasi pelanggaran HAM Perempuan?
1.3 TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui masalah-masalah pelanggaran HAM wanita di indonesia.
2. Untuk mengetahui Tugas dsn Tujuan komnas HAM Perempuan.
3. Untuk mengetahui Intrumen yang mengatasi pelanggaran HAM Perempuan.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui masalah-masalah pelanggaran HAM wanita di indonesia.
2. Untuk mengetahui Tugas dsn Tujuan komnas HAM Perempuan.
3. Untuk mengetahui Intrumen yang mengatasi pelanggaran HAM Perempuan.
1.4 MANFAAT PENULISAN
Manfaat yang diperoleh dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Menambah pengetahuan masalah-masalah pelanggaran HAM wanita di
Indonesia.
2. Menambah pengetahuan Tugas dan Tujuan komnas HAM Perempuan.
2. Menambah pengetahuan Tugas dan Tujuan komnas HAM Perempuan.
3.
Menambah
pengetahuan Intrumen yang mengatasi
pelanggaran HAM
Perempuan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pelecehan terhadap Perempuan
Perbedaan dan
persamaan pria maupun perempuan merupakan salah satu bukti kebesaran dan
kekuasaan Allah SWT. Masing-masing
memiliki peran dan prilaku pergaulan di masyarakat. Menurut pandangan
sosiologis prilaku dilakukan berulang-ulang menjadi prilaku manusia sehari- hari yaitu memenuhi kebutuhan
pokoknya, karena setiap masyarakat mempunyai kebutuhan pokok dimana apabila
dikelompokkan terhimpun menjadi lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam berbagai
bidang kehidupan.[4]
Terhimpunnya lembaga tersebut menunjukkan perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Dengan kata lain ada satu
pola perbedaan alami ketika di masyarakat.terbentuk suatu lembaga seperti
keluarga sebagai organisassi terkecil dimasyarakat. Dalam perspektif sejarah
peradigma kekerasan laki-laki terhadap perempuan sudah menjadi sebuah “culture”
(budaya). Di zaman jahiliyah 14 abad yang lalu (zaman perjuangan Nabi Muhammad
SAW, menegakkan ajaran ialam), praktek kejahatan dan kekerasan kerap menimpah
perempuan. Di zaman moderen pun perenpuan sering diperlakukan tidak manusiawi.
Driskiminasi
gender diberlakukan sebagai alternatif budaya, dan pembenaran gaya hidup yang
maskulitas. Superioritas laki-laki
digunakan sebagai daya penguasaan, kepenjajahan, dan menghalalkan terhadap
perempuan.[5] Bukti
sejarah yang menunjukkan opini di atas adalah kasus penguburan bayi perempuan
(infiniticide).
Menurut kamus besar Indonesia (1990) pengertian
pelecehan seksual adalah pelecehan yang merupakan bentuk pembendaan dari kata
kerja melecehkan yang berarti menghinakan, memandang rendah, mengabaikan.
Sedangkan seksual memiliki arti hal yang berkenan dengan seks atau jenis
kelamin, hal yang berk enan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan
perempuan. Dengan demikian, berdasarkan pengertian tersebut maka pelecehan seksual
berarti suatu bentuk penghinaan atau memandang rendah seseorang karena hal-hal
yang berkenan dengan seks, jenis kelamin atau aktivitas seksual antara laki-laki
dan perempuan.
Menurut Mboiek[6] dan
Stank[7]
pengertian pelecehan seksual adalah suatu perbuatan yang biasanya dilakukan
laki-laki dan ditujukan kepada perempuan dalam bidang seksual, yang tidak
disukai oleh perempuan sebab ia merasa terhina, tetapi kalau perbuatan itu ditolak
ada kemungkinan ia menerima akibat buruk lainnya. Pengertian lainnya
dikemukakan oleh Sanistuti (dalam Daldjoeni,1994:4), pelecehan seksual adalah
semua tindakan seksual atau kecenderungan bertindak seksual yang bersifat
intimidasi nonfisik (kata -kata, bahasa, gambar) atau fisik (gerakan kasat mata
dengan memegang, menyentuh, meraba, mencium) yang dilakukan seorang laki-laki
atau kelompoknya terhadap perempuan atau kelompoknya.
Dalam pelecehan seksual terdapat unsur
-unsur yang meliputi : 1. suatu perbuatan yang berhubungan dengan seksual, 2.
pada umumnya pelakunya laki-laki dan korbannya perempuan, 3. wujud perbuatan
berupa fisik dan nonfisik dan, 4. tidak ada kesukarelaan. Dari pengertian tersebut
dapat diperoleh kesimpulan bahwa unsur utama yang membedakan pelecehan seksual atau
bukan adalah tindakan “suka sama suka”.[8]
Persoalan lain tak kalah menarik kasus perselingkuhan. Perselingkuhan berdampak pada trauma psikis
yang hebat, dimana istri merasa dihianati sedangkan suami tak mau tau, batin
istri memedam banyak penderitaan.
Wilacandra Supriadi menyatakan: para istri mengalami penyiksaan secara
fisik atau psikis oleh suami banyak hanya berani secara anonim menyampaikan
keluhan melalui publik media massa, sebagai tempat menampung keluhan atas
kekerasan yang dialaminnya.[9]
Para istri merasa takut, malu cenderung tertutup, dan
menyimpan rapat-rapat persoalan kekerasan tersebut pada orang lain. Bertolak berlakang dengan hakekat dan tujuan
perkawinan dengan membentuk kekeluarga yang bahagia dan kekal (UU. No. 1/1974),
serta mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.
Tentang hak dan kewajiban suami dan istri disebutkan: suami dan istri
wajib saling mencintai, hormat-menghormati, dan memberi bantuan lahir batin
yang satu kepada yang lain (pasal 33).
Ketentuan Undang-undang tersebut menjadi tidak berarti
apabila suami banyak mengabaikan pasal tanpa sangsi tersebut dan perempuan
berada pada posisi lemah (Subbrdinasi).
Sehingga kekerasan masih berpeluang besar dialami pertempuan-perempuan
di Indonesia. Satu sisi tidak banyak
aturan hukum yang mampu berbicara, sisi lain belum ada upaya perlindungan
terhadap perempuan sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.
Tujuan dan Tugas komnas Perempuan
Komnas Perempuan adalah mekanisme
nasional untuk penegakan Hak Asasi Manusia perempuan Indonesia.[10] Komnas Perempuan lahir dari rahim pergulatan gerakan
perempuan Indonesia dan merupakan jawaban pemerintah RI terhadap tuntutan
gerakan perempuan agar negara bertanggung jawab terhadap kasus-kasus
kekerasan terhadap perempuan selama
konflik dan kerusuhan Mei 1998. Presiden
Habibie meresmikan pembentukan Komnas Perempuan melalui Keppres No. 181/1998.
Pada tahun 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memperbaharui landasan hukum
Komnas Perempuan dengan Perpres No.65/2005.
Sesuai Perpres No. 65 Tahun 2005, tujuan
berdirinya Komnas Perempuan
adalah untuk:
- Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di Indonesia.
- Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi perempuan.
Perpres No. 65 Tahun 2005 memberi Komnas Perempuan mandat untuk:
- Menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan, serta penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan;
- Melaksanakan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta berbagai instrumen internasional yang relevan bagi perlindungan hak-hak asasi perempuan;
- Melaksanakan pemantauan, termasuk pencarian fakta dan pendokumentasian kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM perempuan, serta penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan pengambilan langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan penanganan;
- Memberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif, dan yudikatif, serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, serta perlindungan HAM penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan;
- Mengembangkan kerja sama regional dan internasional guna meningkatkan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia, serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan. Mandat tersebut oleh Komnas Perempuan dijabarkan lebih lanjut dalam Anggaran Dasar menjadi visi Komnas Perempuan, yaitu:
Terciptanya tatanan,
relasi sosial dan pola perilaku yang kondusif untuk mewujudkan kehidupan
yang menghargai keberagaman dan bebas dari rasa takut, tindakan
atau ancaman kekerasan dan diskriminasi sehingga kaum
perempuan dapat menikmati hak asasinya sebagai manusia.
Tujuh misi Komnas
Perempuan adalah:
1. Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan mendorong pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan dalam berbagai dimensi, termasuk hak ekonomi, sosial, politik, budaya yang berpijak pada prinsip hak atas integritas diri.
1. Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan mendorong pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan dalam berbagai dimensi, termasuk hak ekonomi, sosial, politik, budaya yang berpijak pada prinsip hak atas integritas diri.
2. Meningkatkan kesadaran publik bahwa
hak-hak perempuan adalah hak asasi manusia dan kekerasan terhadap perempuan
adalah pelanggaran hak asasi manusia
3. Mendorong penyempurnaan peraturan
perundangan-undangan dan kebijakan yang kondusif, serta membangun sinergi
dengan lembaga pemerintah dan lembaga publik lain yang mempunyai wilayah kerja
atau jurisdiksi yang sejenis untuk pemenuhan tanggung jawab negara dalam penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan.
4. Mengembangkan sistem pemantauan,
pendokumentasian dan evaluasi atas fakta kekerasan terhadap perempuan dan
pelanggaran hak asasi perempuan atas kinerja lembaga-lembaga negara, serta
masyarakat dalam upaya pemenuhan hak perempuan, khususnya korban kekerasan
5. Memelopori dan mendorong
kajian-kajian yang mendukung terpenuhinya mandat Komnas Perempuan
6. Memperkuat jaringan dan solidaritas
antar komunitas korban, pejuang hak-hak asasi manusia, khususnya di tingkat
lokal, nasional, dan internasional
7. Menguatkan kelembagaan Komnas
Perempuan sebagai komisi nasional yang independen, demokratis, efektif,
efisien, akuntabel dan responsif terhadap penegakan hak asasi perempuan.
Intrumen HAM Nasional dan Intrumen HAM Internasional yang dapat menjadi pendukung untuk penyelesaian masalah, yakni:
1. CEDAW atau konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi
Terhadap
Perempuan:
·
Pasal
5: Negara-negara pihak wajib mengambil langkah-langkah yang sesuai: Untuk mangubah
pola tingkah laku sosial dan budaya laki-laki dan perempuan, dangan maksud
untuk mencapai penghapusan prasangka-prasangka dan kebiasaan-kebiasaan serta
segala praktis lainnya yang dilandasi pemikiran tentang inferioritas dan
superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasarkan peranan stereotip bagi
laki-laki dan perempuan.
·
Pasal
11 Ayat (1): Negara-negara pihak wajib menentukan langkah-langkah yang sesuai
untuk penghapusan diskriminasi terhadap perempuan di lapangan pekerjaan guna
menjamin hak yang sama atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan,
khasusnya: hak untuk bekerja sebagai hak yang tidak terpisahkan dari seluruh
umat manusia.
2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tantang penghapusan
kekerasan Dalam
Rumah Tangga:
·
Pasal
1 Ayat (1) menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikolog, dan penelantaran
rumah tangga temasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, permaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
·
Pasal
5 menentukan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga
terhadap orang dalam lingkup rumah tangga, dengan cara: kekerasan fisik,
kekerasan psikis, kekerasan seksual, atau pelantaran rumah tangga.
3. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang LPSK (Lembaga
Pelindungan
Saksi dan Korban).
- Pasal 1 menentukan bahwa:
1.
Saksi
adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan,
penyidikan, perturan, dan pemeriksaan disidang pengadilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.
2. Korban adalah seseorang yang
mengalami penderitaan fisik, menial, dan kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh
suatu tindak pidana.
- Pasal 2 menentukan bahwa undang- undang ini
memberikan perlindungan
kepada
saksi dan korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam
lingkungan
peradilan.
- Pasal 3 menentukan bahwa perlindungan saksi
dan korban berasaskan pada:
penghargaan atas harkat dan martabat
manusia, rasa aman, keadila, tidak
dikriminatif, dan kepastian hukum.
- Pasal 4 menentukan bahwa
perlindungan saksi dan korban bertujuan
memberikan rasa aman pada setiap
proses peradilan pidana.
Konveksi hak dasar manusia sesungguhnya telah banyak
mengakomodasikan hak-hak dasar perempuan.
Sebab di dalam konvensi-konvensi itu disebutkan pula prinsif
non-dikriminasi. Namun secara rinci CEDAW-lah
yang mengatur upaya penghapusan dikriminasi terhadap perempuan. Dalam pasal 1 menyatakan:
“Dikriminasi terhadap perempuan,
berarti segala perbedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar
jenis kelamin mempunyai dampak atau tujuan untuk mengurangin atau meniadakan
pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi ,manusia dan
kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil,
dan bidang lainnya oleh perempuan, lepas dari status perkawinan mereka, atas
dasar kesetaraan antara lelaki dan perempun.
Solusi Perlindungan HAM Perempuan
- Perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Ponografi. Pada definisi dalam KUHP yang sedang direvisi, pemerintah perlu memerhatikan implementasi Undang-Undang No 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-hak Sipil Politik dan Undang-Udang No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.[11] Konvensi CRDAW menetapkan persamaan antaraperempuan dan lelaki dalam menikmati hak-hak sipil, politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Konvensi sebagai International Bill of Rights for Women ini menetapkan kewajiban-kewajiban hukum yang mengikat bagi negara-negara yang peserta untuk mengakhiri diskriminasaoi terhadap perempuan, baik dalam kehidupan publik maupun privat.
- Perlunya peningkatan, pemahaman, dan tanggung jawab para penegak hukum terkait. Harus dipahami bahwa undang-undang ratifikasi tidak dapat langsung dilaksanakan. Undang-undang tersebut dapat disebut sebagai keputusan politik para negara peserta, dan dapat dijadikan norma-norma yang ada sebagai hukum nasional. Namun dalam praktisnya, konvensi ini ditanyakan lagi undang-undang pelaksanaannya.
- Pendidikan yang layak dan memadai
diberikan oleh negara kepada perempuan sebagai bentuk pemenuhan dan jaminan
hak-hak asasi sebagai perempuan dan manusia
4. Perempuan perlu memperoleh advokasi hak-haknya dengan mendapatkan advokasi dari lembaga HAM, seperti komisi Nasional perempun, jaringan LSM/NGO perempuan di daerah-daerah, dan Lembaga Bantuan Hukum Perempuan.
BAB III
KESIMPULAN
Pelangggaran HAM di Indonesia
berhubungan dengan REALITA masalah pelanggaran wanita seperti: pelecehan
seksual, perselingkuhan, kekerasan, dan lain-lain.
Pemasalahan ini dapat dilaporkan
kepada Komnas HAM Perempuan juga menggunakan Intumen HAM Nasional dan Internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Undang-Undang HAM 1999. Sinar Grafika Jakarta. 158 hlm.
Daldjoeni, “Perempuan,
sudah dilecehkan masih dituduh mengiming-iming”,
Kompas,
21 November 1994, 4.
Moeljatno. 2009.
KUHP. Dlam Bumi Aksara.
Jakarta. 231.
Mboiek, Pieter B., “Pelecehan Seksual Suatu Bahasan Psikologis Paeda -gogis,”
makalah dalam Seminar Sexual
Harassment , Surakarta 24 Juli (Surakarta : Kerjasama Pusat Studi Wanita
Universitas Negeri Surakarta dan United States Information Service, 1992).
Sorjono, soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta:Raja Grafindo
Persada, 1997), 68.
Stanko, Elizabeth A., “Reading Danger: Sexual Harassment, Anticipation and Self
-Protection,”
dalam Marianne Hester (ed.) Women Violence and Male Power: Feminist
Activism, Research and Practice (Buckingham: Open University Press. 1996
Supriadi Wilacandra, perempuan dan kekerasan dalam perkawinan, (kumpulan
Tulisan),
(Bandung:Mandar Madju, 2001), 33.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
Wahid Abdul, Irfan Muhammad, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi
Perempuan), (Bandung):REFIKA
Aditama,
2001), 4.
Wignjosoebroto,
Soetandyo, “Kejahatan Kesusilaan dan Pelecehan Seksual
Dalam Perspektif Sosial Budaya”
dalam Suparman Marzuki (Ed.)
Pelecehan Seksual (Yogyakarta:
Fa-kultas Hukum Universitas Islam
Indonesia, 19 95).
Supriadi
Wilacandra, ibid., 33
[1]
Supriadi Wilacandra, perempuan dan
kekerasan dalam perkawinan, (kumpulan Tulisan), (Bandung:Mandar Madju,
2001), 33.
[2]
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
[3]
Daldjoeni, “Perempuan, sudah dilecehkan masih dituduh mengiming-iming”, Kompas,
21 November 1994, 4.
[4]
Sorjono, soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi
Hukum, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1997), 68.
[5]
Wahid Abdul, Irfan Muhammad, Perlindungan
Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan),
(Bandung):REFIKA Aditama, 2001), 4.
[6]
Mboiek, Pieter B., “Pelecehan Seksual Suatu Bahasan Psikologis
Paeda -gogis,” makalah dalam Seminar Sexual Harassment , Surakarta 24
Juli (Surakarta : Kerjasama Pusat Studi Wanita Universitas Negeri Surakarta dan
United States Information Service, 1992).
[7]
Stanko, Elizabeth A., “Reading Danger: Sexual Harassment, Anticipation and Self
-Protection,” dalam Marianne Hester (ed.) Women Violence and Male Power:
Feminist Activism, Research and Practice (Buckingham: Open University
Press,1996
[8]
Wignjosoebroto, Soetandyo, “Kejahatan Kesusilaan dan Pelecehan Seksual Dalam
Perspektif Sosial Budaya” dalam Suparman Marzuki (Ed.) Pelecehan Seksual (Yogyakarta:
Fa-kultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 19 95).
[9]
Supriadi Wilacandra, ibid., 33.
[10]
Anonim. 2010. Undang-Undang HAM. 1999. Sinar Grafika Jakarta. 158 hlm.