Laman

PLEASE YANG COPY-PASTE DARI BLOG, TOLONG DICANTUMKAN ^_^

Rabu, 27 Februari 2013

REVITALISASI PENEGAK HAM WANITA DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN



I.1     LATAR BELAKANG

Jika melihat Hakikat HAM yang sebenarnya, tentu akan sangatlah indah dibayangkan apabila HAM yang terjadi di Indonesia benar-benar seperti itu.  Akan tetapi REALITAS yang ada tidak seperti itu, bahkan bertolak belakang.  HAM yang katanya sangat dilindungin dan dihormati di injak-injak begitu saja oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.  Pelanggaran HAM sering terjadi pada semua aspek kehidupan, sebut saja salah satu contoh kekerasan terhadap perempuan.  Hal ini bukanlah satu hal yang asing dikalangan rakyat Indonesia.
Pelanggaran terhadap hak asasi kaum perempuan masih sering terjadi, walaupun Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mendeklarasikan hak asasi manusia yang pada intinya menegaskan bahwa setiap orang dilahirkan dengan mempunyai hak akan kebebasan dan martabat yang setara tanpa membedakan; ras, warna kulit, keyakinan agama dan politik, bahasa, dan jenis kelamin.  Namun faktanya adalah bahwa instrumen tentang hak asasi manusia belum mampu melindungi perempuan terhadap pelanggaran hak asasinya

Dewasa ini, budaya kekerasan menjadi nyata, kalau kita amati dalam lingkungan keluarga sering ditemukan kasus kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri.  Perlaku tersebul jarang diketahui oleh orang lain, bentuk kekerasan tersebut seperti perkosaan dalam perkawinan (“marital rape”), memperbudakistri, mengurung istri


di rumah tanpa menberi kesempatan untuk bersosialisasi dengan masyarakat luar dan lebih ironis “kematian”.[1]
Menurut Menteri Negara Pemberdayaan perempuan Dr. Meutia Hatta Swasono, mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih terus berlangsung dalam bentuk yang bervariasi bahkan menimbulkan dampak yang cukup kompleks.  “Yang memerasakan kekerasan bukan hanya istri atau perempuan yang terluka, tetapi juga anak-anak yang hidup dan menyaksikan kekerasan dilingkungannya”. Ia juga menambahkan, anak dimungkinkan meniru terhadap apa yang mereka lihat, sehingga menganggapnya bahkan menyesuaikan perbedaan.  Karena itu, kekerasan terhadap perempuan baik yang bersifat publik maupun domestik harus secepatnya dicegah.[2]
Menurut data WHO 2006 ditemukan adanya seorang perempuan dilecehkan, diperkosa dan dipukuli setiap hari di seluruh dunia. Paling tidak setengah dari penduduk dunia berjenis kelamin perempuan telah mengalami kekerasan secara fisik. Studi tentang kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan organisasi ini di 10 negara (Bangladesh, Brazil, Ethiophia, Jepang, Namibia, Peru, Samoa, Serbia dan Montenegro, Thailand dan Tanzania) menunjukan bahwa kekerasan dalam rumah tangga yang dialami perempuan lebih sering dilakukan oleh orang-orang terdekat, misalnya suami, pacar, kenalan dekat. Demikian pula halnya dalam kasus pelecehan seksual dan pemerkoaan, orang-orang di sekitar perempuan (memangsa) mereka. Sebanyak 24.000 perempuan diwawancarai dan didengarkan keluhan mereka, 20% diantara mereka mengatakan bahwa kekerasan yang mereka alami tidak pernah di ceritakan kepada siapapun karena malu, tabu dan takut. Sebanyak 4% hingga 12% pernah mengalami penonjokan dan penendangan di perut perempuan.[3]



1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, dapat dirumuskan masalah-masalah yang akan dibahas pada penulisan kali ini. Masalah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.  Apakah masalah-masalah pelanggaran HAM wanita di indonesia?
2.  Apakah Tugas dsn Tujuan komnas HAM Perempuan?
3.  Intrumen apakah yang mengatasi pelanggaran HAM Perempuan?   

1.3 TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.  Untuk mengetahui masalah-masalah pelanggaran HAM wanita di indonesia.
2.  Untuk mengetahui Tugas dsn Tujuan komnas HAM Perempuan.
3.  Untuk mengetahui Intrumen yang mengatasi pelanggaran HAM Perempuan.


1.4 MANFAAT PENULISAN

Manfaat yang diperoleh dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.   Menambah pengetahuan masalah-masalah pelanggaran HAM wanita di 
      Indonesia.
2.   Menambah
pengetahuan Tugas dan Tujuan komnas HAM Perempuan.
3.   Menambah pengetahuan Intrumen yang mengatasi pelanggaran HAM
      Perempuan.












BAB II
PEMBAHASAN


2.1   Pelecehan  terhadap Perempuan

Perbedaan dan persamaan pria maupun perempuan merupakan salah satu bukti kebesaran dan kekuasaan Allah SWT.  Masing-masing memiliki peran dan prilaku pergaulan di masyarakat. Menurut pandangan sosiologis prilaku dilakukan berulang-ulang menjadi prilaku manusia  sehari- hari yaitu memenuhi kebutuhan pokoknya, karena setiap masyarakat mempunyai kebutuhan pokok dimana apabila dikelompokkan terhimpun menjadi lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam berbagai bidang kehidupan.[4] Terhimpunnya lembaga tersebut menunjukkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan.  Dengan kata lain ada satu pola perbedaan alami ketika di masyarakat.terbentuk suatu lembaga seperti keluarga sebagai organisassi terkecil dimasyarakat. Dalam perspektif sejarah peradigma kekerasan laki-laki terhadap perempuan sudah menjadi sebuah “culture” (budaya). Di zaman jahiliyah 14 abad yang lalu (zaman perjuangan Nabi Muhammad SAW, menegakkan ajaran ialam), praktek kejahatan dan kekerasan kerap menimpah perempuan. Di zaman moderen pun perenpuan sering diperlakukan tidak manusiawi.
Driskiminasi gender diberlakukan sebagai alternatif budaya, dan pembenaran gaya hidup yang maskulitas.  Superioritas laki-laki digunakan sebagai daya penguasaan, kepenjajahan, dan menghalalkan terhadap perempuan.[5] Bukti sejarah yang menunjukkan opini di atas adalah kasus penguburan bayi perempuan (infiniticide).


Menurut kamus besar Indonesia (1990) pengertian pelecehan seksual adalah pelecehan yang merupakan bentuk pembendaan dari kata kerja melecehkan yang berarti menghinakan, memandang rendah, mengabaikan. Sedangkan seksual memiliki arti hal yang berkenan dengan seks atau jenis kelamin, hal yang berk enan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, berdasarkan pengertian tersebut maka pelecehan seksual berarti suatu bentuk penghinaan atau memandang rendah seseorang karena hal-hal yang berkenan dengan seks, jenis kelamin atau aktivitas seksual antara laki-laki dan perempuan.
Menurut Mboiek[6] dan Stank[7] pengertian pelecehan seksual adalah suatu perbuatan yang biasanya dilakukan laki-laki dan ditujukan kepada perempuan dalam bidang seksual, yang tidak disukai oleh perempuan sebab ia merasa terhina, tetapi kalau perbuatan itu ditolak ada kemungkinan ia menerima akibat buruk lainnya. Pengertian lainnya dikemukakan oleh Sanistuti (dalam Daldjoeni,1994:4), pelecehan seksual adalah semua tindakan seksual atau kecenderungan bertindak seksual yang bersifat intimidasi nonfisik (kata -kata, bahasa, gambar) atau fisik (gerakan kasat mata dengan memegang, menyentuh, meraba, mencium) yang dilakukan seorang laki-laki atau kelompoknya terhadap perempuan atau kelompoknya.
Dalam pelecehan seksual terdapat unsur -unsur yang meliputi : 1. suatu perbuatan yang berhubungan dengan seksual, 2. pada umumnya pelakunya laki-laki dan korbannya perempuan, 3. wujud perbuatan berupa fisik dan nonfisik dan, 4. tidak ada kesukarelaan. Dari pengertian tersebut dapat diperoleh kesimpulan bahwa unsur utama yang membedakan pelecehan seksual atau bukan adalah tindakan “suka sama suka”.[8]
Persoalan lain tak kalah menarik kasus perselingkuhan.  Perselingkuhan berdampak pada trauma psikis yang hebat, dimana istri merasa dihianati sedangkan suami tak mau tau, batin istri memedam banyak penderitaan.  Wilacandra Supriadi menyatakan: para istri mengalami penyiksaan secara fisik atau psikis oleh suami banyak hanya berani secara anonim menyampaikan keluhan melalui publik media massa, sebagai tempat menampung keluhan atas kekerasan yang dialaminnya.[9]  

Para istri merasa takut, malu cenderung tertutup, dan menyimpan rapat-rapat persoalan kekerasan tersebut pada orang lain.  Bertolak berlakang dengan hakekat dan tujuan perkawinan dengan membentuk kekeluarga yang bahagia dan kekal (UU. No. 1/1974), serta mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.  Tentang hak dan kewajiban suami dan istri disebutkan: suami dan istri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain (pasal 33).
Ketentuan Undang-undang tersebut menjadi tidak berarti apabila suami banyak mengabaikan pasal tanpa sangsi tersebut dan perempuan berada pada posisi lemah (Subbrdinasi).  Sehingga kekerasan masih berpeluang besar dialami pertempuan-perempuan di Indonesia.  Satu sisi tidak banyak aturan hukum yang mampu berbicara, sisi lain belum ada upaya perlindungan terhadap perempuan sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.

Tujuan dan Tugas komnas Perempuan
Komnas Perempuan adalah mekanisme nasional untuk penegakan Hak Asasi Manusia perempuan Indonesia.[10]  Komnas Perempuan lahir dari rahim pergulatan gerakan perempuan Indonesia dan merupakan jawaban pemerintah RI terhadap tuntutan gerakan perempuan agar negara bertanggung jawab terhadap kasus-kasus
kekerasan terhadap perempuan selama konflik dan kerusuhan Mei 1998.  Presiden Habibie meresmikan pembentukan Komnas Perempuan melalui Keppres No. 181/1998. Pada tahun 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memperbaharui landasan hukum Komnas Perempuan dengan Perpres No.65/2005.

Sesuai Perpres No. 65 Tahun 2005, tujuan berdirinya Komnas Perempuan
adalah untuk:
  1. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di Indonesia.
  2. Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi perempuan.

Perpres No. 65 Tahun 2005 memberi Komnas Perempuan mandat untuk:
  1. Menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan, serta penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan; 
  2. Melaksanakan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta berbagai instrumen internasional yang relevan bagi perlindungan hak-hak asasi perempuan; 
  3. Melaksanakan pemantauan, termasuk pencarian fakta dan pendokumentasian kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM perempuan, serta penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan pengambilan langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan penanganan; 
  4. Memberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif, dan yudikatif, serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, serta perlindungan HAM penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan; 
  5. Mengembangkan kerja sama regional dan internasional guna meningkatkan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia, serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan. Mandat tersebut oleh Komnas Perempuan dijabarkan lebih lanjut dalam Anggaran Dasar menjadi visi Komnas Perempuan, yaitu:
Terciptanya tatanan, relasi sosial dan pola perilaku yang kondusif untuk mewujudkan kehidupan yang menghargai keberagaman dan bebas dari rasa takut, tindakan atau ancaman kekerasan dan diskriminasi sehingga kaum perempuan dapat menikmati hak asasinya sebagai manusia.


Tujuh misi Komnas Perempuan adalah: 
1.  Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan mendorong pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan dalam berbagai dimensi, termasuk hak ekonomi, sosial, politik, budaya yang berpijak pada prinsip hak atas integritas diri.
2.  Meningkatkan kesadaran publik bahwa hak-hak perempuan adalah hak asasi manusia dan kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia
3.  Mendorong penyempurnaan peraturan perundangan-undangan dan kebijakan yang kondusif, serta membangun sinergi dengan lembaga pemerintah dan lembaga publik lain yang mempunyai wilayah kerja atau jurisdiksi yang sejenis untuk pemenuhan tanggung jawab negara dalam  penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
4.  Mengembangkan sistem pemantauan, pendokumentasian dan evaluasi atas fakta kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran hak asasi perempuan atas kinerja lembaga-lembaga negara, serta masyarakat dalam upaya pemenuhan hak perempuan, khususnya korban kekerasan
5.  Memelopori dan mendorong kajian-kajian yang mendukung terpenuhinya mandat Komnas Perempuan
6.  Memperkuat jaringan dan solidaritas antar komunitas korban, pejuang hak-hak asasi manusia, khususnya di tingkat lokal, nasional, dan internasional
7.  Menguatkan kelembagaan Komnas Perempuan sebagai komisi nasional yang independen, demokratis, efektif, efisien, akuntabel dan responsif terhadap penegakan hak asasi perempuan.



Intrumen HAM Nasional dan Intrumen HAM Internasional yang dapat menjadi pendukung untuk penyelesaian masalah, yakni:
1. CEDAW atau konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi  
    Terhadap Perempuan:
·         Pasal 5: Negara-negara pihak wajib mengambil langkah-langkah yang sesuai: Untuk mangubah pola tingkah laku sosial dan budaya laki-laki dan perempuan, dangan maksud untuk mencapai penghapusan prasangka-prasangka dan kebiasaan-kebiasaan serta segala praktis lainnya yang dilandasi pemikiran tentang inferioritas dan superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasarkan peranan stereotip bagi laki-laki dan perempuan.
·         Pasal 11 Ayat (1): Negara-negara pihak wajib menentukan langkah-langkah yang sesuai untuk penghapusan diskriminasi terhadap perempuan di lapangan pekerjaan guna menjamin hak yang sama atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan, khasusnya: hak untuk bekerja sebagai hak yang tidak terpisahkan dari seluruh umat manusia.
2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tantang penghapusan kekerasan Dalam  
    Rumah Tangga:   
·         Pasal 1 Ayat (1) menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikolog, dan penelantaran rumah tangga temasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, permaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
·         Pasal 5 menentukan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangga, dengan cara: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, atau pelantaran rumah tangga.
3. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang LPSK (Lembaga Pelindungan  
    Saksi dan Korban).
    -   Pasal 1 menentukan bahwa:
1.      Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, perturan, dan pemeriksaan disidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.
2.      Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, menial, dan kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
    -    Pasal 2 menentukan bahwa undang- undang ini memberikan perlindungan   
         kepada saksi dan korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam           
         lingkungan peradilan.
    -    Pasal 3 menentukan bahwa perlindungan saksi dan korban berasaskan pada:   
         penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadila, tidak
         dikriminatif, dan kepastian hukum.
    -    Pasal 4 menentukan bahwa perlindungan saksi dan korban bertujuan
          memberikan rasa aman pada setiap proses peradilan pidana.  
Konveksi hak dasar manusia sesungguhnya telah banyak mengakomodasikan hak-hak dasar perempuan.  Sebab di dalam konvensi-konvensi itu disebutkan pula prinsif non-dikriminasi.  Namun secara rinci CEDAW-lah yang mengatur upaya penghapusan dikriminasi terhadap perempuan.  Dalam pasal 1 menyatakan:
“Dikriminasi terhadap perempuan, berarti segala perbedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin mempunyai dampak atau tujuan untuk mengurangin atau meniadakan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi ,manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan bidang lainnya oleh perempuan, lepas dari status perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan antara lelaki dan perempun.   
Solusi Perlindungan HAM Perempuan
  1. Perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Ponografi.  Pada definisi dalam KUHP yang sedang direvisi, pemerintah perlu memerhatikan implementasi Undang-Undang No 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-hak Sipil Politik dan Undang-Udang No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.[11]  Konvensi CRDAW menetapkan persamaan antaraperempuan dan lelaki dalam menikmati hak-hak sipil, politik, sosial, ekonomi, dan budaya.  Konvensi sebagai International Bill of Rights for Women ini menetapkan kewajiban-kewajiban hukum yang mengikat bagi negara-negara yang peserta untuk mengakhiri diskriminasaoi terhadap perempuan, baik dalam kehidupan publik maupun privat.
  2. Perlunya peningkatan, pemahaman, dan tanggung jawab para penegak hukum terkait.  Harus dipahami bahwa undang-undang ratifikasi tidak dapat langsung dilaksanakan.  Undang-undang tersebut dapat disebut sebagai keputusan politik para negara peserta, dan dapat dijadikan norma-norma yang ada sebagai hukum nasional.  Namun dalam praktisnya, konvensi ini ditanyakan lagi undang-undang pelaksanaannya. 
  3. Pendidikan yang layak dan memadai diberikan oleh negara kepada perempuan sebagai bentuk pemenuhan dan jaminan hak-hak asasi sebagai perempuan dan manusia
     4. Perempuan perlu memperoleh advokasi hak-haknya dengan mendapatkan advokasi dari lembaga HAM, seperti komisi Nasional perempun, jaringan LSM/NGO perempuan di daerah-daerah, dan Lembaga Bantuan Hukum Perempuan.
      









BAB III
KESIMPULAN



Pelangggaran HAM di Indonesia berhubungan dengan REALITA masalah pelanggaran wanita seperti: pelecehan seksual, perselingkuhan, kekerasan, dan lain-lain.
Pemasalahan ini dapat dilaporkan kepada Komnas HAM Perempuan juga menggunakan Intumen HAM Nasional dan Internasional.











DAFTAR PUSTAKA


Anonim.  2010. Undang-Undang HAM 1999.  Sinar Grafika Jakarta. 158 hlm.
Daldjoeni, “Perempuan, sudah dilecehkan masih dituduh mengiming-iming”,
Kompas, 21 November 1994, 4.
Moeljatno.  2009.  KUHP. Dlam Bumi Aksara.  Jakarta.  231. 

Mboiek, Pieter B.,  “Pelecehan Seksual Suatu Bahasan Psikologis Paeda -gogis,”
makalah dalam Seminar Sexual Harassment , Surakarta 24 Juli (Surakarta : Kerjasama Pusat Studi Wanita Universitas Negeri Surakarta dan United States Information Service, 1992).

Sorjono, soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta:Raja Grafindo
Persada, 1997), 68. 

Stanko, Elizabeth A., “Reading Danger: Sexual Harassment, Anticipation and Self
-Protection,” dalam Marianne Hester (ed.) Women Violence and Male Power: Feminist Activism, Research and Practice (Buckingham: Open University Press.  1996

Supriadi Wilacandra, perempuan dan kekerasan dalam perkawinan, (kumpulan
Tulisan), (Bandung:Mandar Madju, 2001), 33.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004  Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam  
             Rumah Tangga.



Wahid Abdul, Irfan Muhammad, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan  
            Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), (Bandung):REFIKA         
            Aditama, 2001), 4.
Wignjosoebroto, Soetandyo, “Kejahatan Kesusilaan dan Pelecehan Seksual
             Dalam Perspektif Sosial Budaya” dalam Suparman Marzuki (Ed.)              
             Pelecehan Seksual (Yogyakarta: Fa-kultas Hukum Universitas Islam                        
             Indonesia, 19 95).
Supriadi Wilacandra, ibid., 33




[1] Supriadi Wilacandra, perempuan dan kekerasan dalam perkawinan, (kumpulan Tulisan), (Bandung:Mandar Madju, 2001), 33.
[2] Undang-Undang No. 23 Tahun 2004  Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
[3] Daldjoeni, “Perempuan, sudah dilecehkan masih dituduh mengiming-iming”, Kompas, 21 November 1994, 4.
[4] Sorjono, soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1997), 68.
[5] Wahid Abdul, Irfan Muhammad, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), (Bandung):REFIKA Aditama, 2001), 4.
[6] Mboiek, Pieter B., “Pelecehan Seksual Suatu Bahasan Psikologis Paeda -gogis,” makalah dalam Seminar Sexual Harassment , Surakarta 24 Juli (Surakarta : Kerjasama Pusat Studi Wanita Universitas Negeri Surakarta dan United States Information Service, 1992).
[7] Stanko, Elizabeth A., “Reading Danger: Sexual Harassment, Anticipation and Self -Protection,” dalam Marianne Hester (ed.) Women Violence and Male Power: Feminist Activism, Research and Practice (Buckingham: Open University Press,1996
[8] Wignjosoebroto, Soetandyo, “Kejahatan Kesusilaan dan Pelecehan Seksual Dalam Perspektif Sosial Budaya” dalam Suparman Marzuki (Ed.) Pelecehan Seksual (Yogyakarta: Fa-kultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 19 95).
[9] Supriadi Wilacandra, ibid., 33.
[10] Anonim. 2010. Undang-Undang HAM. 1999. Sinar Grafika Jakarta. 158 hlm.
[11] Moeljatno. 2009.  KUHP. Dlam Bumi Aksara. Jakerta. 231.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar